Gerakan sosial dan kepedulian masyarakat Indonesia kini semakin mudah tersalurkan berkat kemajuan teknologi. Dengan beberapa klik, kampanye penggalangan dana bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan orang. Namun, di balik kemudahan ini, ada aspek krusial yang sering terlewatkan: aspek hukum. Banyak yang belum menyadari bahwa setiap kegiatan pengumpulan uang dan barang dari masyarakat diatur secara ketat oleh negara. Memahami perizinan dan legalitas penggalangan dana di Indonesia bukan hanya soal kepatuhan, tetapi juga tentang menjaga amanah dan membangun kepercayaan publik. Artikel ini akan menjadi panduan lengkap Anda untuk menavigasi aturan main penggalangan dana, dari dasar hukum hingga implementasinya di era digital.
Table of Contents
ToggleIzin Penggalangan Dana: Panduan Legalitas & Aturannya
Memahami Dasar Hukum Penggalangan Dana di Indonesia
Niat baik untuk membantu sesama harus selaras dengan koridor hukum yang berlaku. Di Indonesia, kegiatan penggalangan dana publik, atau yang secara resmi dikenal sebagai Pengumpulan Uang atau Barang (PUB), bukanlah aktivitas yang bisa dilakukan secara serampangan. Negara hadir untuk memastikan bahwa dana yang terkumpul benar-benar sampai kepada yang berhak, terkelola secara transparan, dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, setiap penyelenggara PUB, baik itu individu, panitia, maupun badan hukum, wajib memahami dan mematuhi kerangka regulasi yang telah ditetapkan.
Dasar hukum utama yang menjadi fondasi perizinan dan legalitas penggalangan dana di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang. Meskipun usianya sudah lebih dari setengah abad, UU ini masih relevan dan menjadi acuan utama. Untuk menopang implementasinya, pemerintah menerbitkan peraturan pelaksana, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Kedua regulasi ini secara rinci mengatur siapa yang boleh menyelenggarakan, bagaimana cara mengajukan izin, serta kewajiban pelaporan dan sanksi bagi pelanggar.
Institusi pemerintah yang memiliki wewenang utama dalam memberikan izin dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan PUB adalah Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos). Untuk kegiatan yang skalanya lebih kecil, kewenangan ini dapat didelegasikan kepada pemerintah daerah, seperti Gubernur untuk tingkat provinsi dan Bupati atau Walikota untuk tingkat kabupaten/kota. Dengan adanya struktur ini, pemerintah berupaya memastikan bahwa setiap sumbangan, sekecil apa pun, dikelola dengan akuntabilitas dan transparansi maksimal, demi melindungi hak donatur dan penerima manfaat.
Jenis-Jenis Izin Penggalangan Dana yang Perlu Anda Ketahui
Tidak semua kegiatan penggalangan dana memerlukan jenis izin yang sama. Pemerintah telah mengklasifikasikan izin PUB berdasarkan dua faktor utama: jangkauan wilayah operasional dan durasi waktu pelaksanaan. Memahami perbedaan ini sangat penting agar Anda dapat mengajukan permohonan izin ke instansi yang tepat dan dengan persyaratan yang sesuai. Kesalahan dalam menentukan jenis izin dapat menyebabkan proses permohonan ditolak atau memakan waktu lebih lama dari yang seharusnya.
Secara umum, semakin luas jangkauan dan semakin lama durasi penggalangan dana, maka semakin tinggi pula tingkat otoritas yang mengeluarkan izin. Ini logis, karena kampanye berskala besar memiliki potensi dampak dan risiko yang lebih besar pula, sehingga memerlukan pengawasan yang lebih ketat dari pemerintah pusat. Sebaliknya, kegiatan yang bersifat lokal dan sementara dapat dikelola oleh pemerintah daerah yang lebih memahami konteks sosial di wilayahnya masing-masing.
1. Izin Berdasarkan Jangkauan Wilayah
Jangkauan geografis penggalangan dana adalah penentu utama siapa yang berwenang mengeluarkan izin. Skala ini diukur dari mana saja sumber sumbangan akan dikumpulkan.
- Tingkat Nasional: Jika penggalangan dana Anda direncanakan untuk mencakup lebih dari satu provinsi, maka Anda wajib mengajukan izin ke Kementerian Sosial RI. Contohnya adalah kampanye kebencanaan nasional, program beasiswa se-Indonesia, atau pembangunan fasilitas sosial yang dampaknya lintas provinsi. Lembaga Amil Zakat (LAZ) tingkat nasional juga termasuk dalam kategori ini. Izin tingkat nasional menuntut akuntabilitas yang sangat tinggi karena melibatkan dana publik dari seluruh penjuru negeri.
- Tingkat Provinsi: Untuk kegiatan yang lingkup pengumpulan dananya berada di lebih dari satu kabupaten/kota dalam satu provinsi yang sama, izin dikeluarkan oleh Gubernur melalui Dinas Sosial Provinsi. Misalnya, sebuah organisasi di Surabaya ingin melakukan penggalangan dana di Surabaya, Malang, dan Sidoarjo untuk membantu panti asuhan di Jawa Timur. Maka, permohonan izinnya diajukan ke Dinsos Provinsi Jawa Timur.
Tingkat Kabupaten/Kota: Ini adalah level yang paling umum untuk kegiatan lokal. Jika penggalangan dana hanya dilakukan dalam satu wilayah kabupaten atau kota, maka izin cukup diajukan kepada Bupati atau Walikota melalui Dinas Sosial setempat. Contohnya adalah acaracharity* oleh komunitas lokal, renovasi masjid di sebuah kelurahan, atau bantuan untuk tetangga yang sakit parah.
2. Izin Berdasarkan Waktu Pelaksanaan
Selain wilayah, durasi kampanye juga menjadi faktor penentu. Ini berkaitan dengan sifat kegiatan, apakah sesaat atau berkelanjutan.
- Izin Insidental (Maksimal 3 Bulan): Jenis izin ini ditujukan untuk penggalangan dana yang bersifat sementara atau untuk satu acara spesifik. Batas waktu maksimalnya adalah tiga bulan. Izin ini cocok untuk kegiatan seperti konser amal, lelang barang untuk donasi, penggalangan dana untuk korban bencana alam yang baru terjadi, atau acara peringatan hari besar yang disertai pengumpulan sumbangan. Setelah tiga bulan, izin akan kedaluwarsa dan tidak bisa diperpanjang. Jika ingin melanjutkan, harus ada pengajuan izin baru dengan proposal yang relevan.
- Izin Periode (Lebih dari 3 Bulan): Izin ini diperuntukkan bagi organisasi atau yayasan yang memiliki program penggalangan dana secara berkelanjutan. Izin ini biasanya berlaku selama tiga bulan dan dapat diperpanjang. Organisasi yang sering menggunakan izin ini adalah yayasan kanker, lembaga pengelola zakat, atau panti asuhan yang secara rutin membutuhkan dana operasional dari publik. Proses perpanjangannya pun mensyaratkan adanya laporan penggunaan dana dari periode sebelumnya sebagai bukti akuntabilitas.
Proses dan Syarat Mengajukan Izin Pengumpulan Uang atau Barang (PUB)
Mengajukan izin PUB memang membutuhkan persiapan, namun prosesnya cukup sistematis. Kunci utamanya adalah kelengkapan dokumen dan kejelasan proposal. Proposal adalah jantung dari permohonan Anda; di sinilah Anda "menjual" ide dan meyakinkan pemerintah bahwa niat baik Anda didukung oleh rencana yang matang, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Proposal yang asal-asalan hampir pasti akan membuat permohonan Anda tertunda atau bahkan ditolak.
Secara garis besar, alur pengajuan izin PUB dapat dirangkum dalam beberapa langkah berikut:
- Penyusunan Proposal: Membuat proposal detail yang mencakup latar belakang, tujuan, sasaran, rincian rencana anggaran biaya (RAB), susunan panitia, waktu dan tempat, serta mekanisme penyaluran bantuan.
- Pengajuan Permohonan: Mengirimkan surat permohonan resmi yang ditujukan kepada instansi berwenang (Kemensos/Gubernur/Bupati) dengan melampirkan proposal dan seluruh dokumen persyaratan.
- Verifikasi dan Evaluasi: Pihak berwenang akan memeriksa kelengkapan administrasi dan kelayakan proposal. Terkadang, mereka bisa melakukan kunjungan lapangan atau meminta klarifikasi lebih lanjut.
- Penerbitan Surat Izin: Jika semua syarat terpenuhi dan proposal dinilai layak, instansi akan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Izin Penyelenggaraan PUB.
- Pelaksanaan dan Pelaporan: Setelah izin terbit, Anda bisa melaksanakan penggalangan dana. Setelah selesai, Anda wajib membuat laporan pertanggungjawaban (LPJ) keuangan yang detail dan menyerahkannya kembali ke instansi pemberi izin.
Kewajiban pelaporan adalah tahap yang tak boleh disepelekan. Ini adalah bukti konkret bahwa Anda telah menjalankan amanah sesuai proposal yang disetujui. Laporan ini biasanya harus diserahkan paling lambat satu bulan setelah periode izin berakhir. Kegagalan membuat dan menyerahkan laporan dapat membuat Anda di-blacklist untuk pengajuan izin di masa mendatang, terlepas dari seberapa mulia tujuan Anda.
1. Dokumen Wajib untuk Badan Hukum (Yayasan/Perkumpulan)
Bagi lembaga yang sudah berbadan hukum seperti yayasan atau perkumpulan, persyaratannya lebih terstruktur karena legalitas entitasnya sudah jelas. Umumnya, dokumen yang dibutuhkan adalah:
- Surat permohonan resmi berkop surat lembaga dan bermaterai.
- Proposal kegiatan penggalangan dana yang detail dan ditandatangani ketua serta sekretaris.
- Salinan Akta Pendirian dan/atau Akta Perubahan terakhir dari notaris.
- Salinan SK Pengesahan Badan Hukum dari Kemenkumham.
- Salinan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART).
- Salinan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) lembaga.
- Susunan pengurus dan KTP penanggung jawab (Ketua, Sekretaris, Bendahara).
- Rekomendasi dari instansi terkait (jika diperlukan, misal rekomendasi dari Dinas Pendidikan untuk program beasiswa).
Kelengkapan dokumen ini menunjukkan bahwa organisasi Anda adalah entitas yang serius, terdaftar, dan memiliki struktur yang jelas. Ini memberikan jaminan awal bagi pemerintah bahwa ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban secara hukum jika terjadi masalah di kemudian hari. Tanpa status badan hukum, akan sulit untuk mengajukan izin penggalangan dana berskala besar atau yang bersifat berkelanjutan.
2. Dokumen untuk Panitia atau Perorangan
Bagaimana jika penyelenggaranya bukan yayasan? Misalnya, komunitas hobi, kelompok mahasiswa, atau bahkan panitia warga? Mereka tetap bisa mengajukan izin, khususnya untuk kegiatan yang bersifat insidental dan berskala lokal. Persyaratannya tentu sedikit berbeda dan lebih sederhana.

Dokumen yang umumnya dibutuhkan untuk panitia/perorangan antara lain:
- Surat permohonan atas nama panitia.
- Proposal kegiatan yang detail.
- Daftar susunan panitia yang dilengkapi dengan salinan KTP masing-masing anggota.
- Surat Keterangan Domisili dari kelurahan/desa setempat.
- Surat rekomendasi atau surat keterangan dari tokoh masyarakat atau pejabat lokal (Ketua RT/RW/Lurah) yang mengetahui rencana kegiatan tersebut.
Meskipun lebih sederhana, tujuan persyaratannya tetap sama: identifikasi dan akuntabilitas. Pemerintah perlu tahu siapa saja orang di balik kegiatan tersebut dan di mana mereka berdomisili. Surat rekomendasi dari aparat lokal juga berfungsi sebagai verifikasi awal bahwa kegiatan tersebut memang benar adanya dan mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Ini adalah mekanisme untuk mencegah adanya "panitia fiktif" yang mengatasnamakan masyarakat untuk keuntungan pribadi.
Penggalangan Dana di Era Digital: Crowdfunding dan Aturannya
Ledakan platform digital telah mengubah wajah filantropi secara drastis. Situs seperti Kitabisa, Aksi Cepat Tanggap (sebelum dibekukan), WeCare.id, dan lainnya memungkinkan siapa saja untuk membuat dan menyebarkan kampanye donasi dalam hitungan menit. Pertanyaannya, apakah UU Tahun 1961 yang "kuno" itu masih berlaku untuk aktivitas crowdfunding yang super modern ini? Jawabannya adalah iya, secara prinsip.
Meskipun mediumnya berubah dari kotak amal fisik menjadi tombol donasi virtual, esensi kegiatannya tetap sama: meminta sumbangan dari masyarakat luas. Oleh karena itu, perizinan dan legalitas penggalangan dana di Indonesia juga mencakup ranah digital. Prinsip utama dalam UU No. 9 Tahun 1961 dan PP No. 29 Tahun 1980 tetap menjadi acuan. Kementerian Sosial telah menegaskan bahwa setiap platform crowdfunding yang beroperasi di Indonesia wajib mengantongi izin PUB dari Kemensos.
Platform-platform besar tersebut biasanya sudah memiliki izin PUB tingkat nasional yang bersifat periode (berkelanjutan). Izin inilah yang menjadi "payung hukum" bagi ribuan kampanye individu yang berjalan di atas platform mereka. Dengan kata lain, ketika Anda membuat kampanye di Kitabisa, Anda tidak perlu lagi mengurus izin PUB secara pribadi ke Kemensos, karena Anda "bernaung" di bawah izin yang sudah dimiliki oleh Kitabisa. Namun, ini juga berarti Anda terikat pada syarat dan ketentuan, serta mekanisme verifikasi dan pelaporan yang ditetapkan oleh platform tersebut, yang pada gilirannya juga harus melapor ke Kemensos. Perlu dicatat, ini berlaku untuk crowdfunding berbasis donasi. Untuk model lain seperti equity crowdfunding (urun dana saham), regulatornya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
| Aspek | Penggalangan Dana Konvensional | Penggalangan Dana Digital (Crowdfunding) |
|---|---|---|
| Media | Kotak amal, transfer bank langsung, acara amal, door-to-door. | Website, aplikasi mobile, media sosial. |
| Jangkauan | Terbatas secara geografis (lokal, regional). | Potensial menjangkau seluruh dunia. |
| Kecepatan | Relatif lambat, bergantung pada penyebaran informasi manual. | Sangat cepat dan viral. |
| Perizinan | Izin PUB diajukan oleh penyelenggara (perorangan/yayasan). | Izin PUB "payung" dipegang oleh platform. |
| Transparansi | Bergantung pada laporan manual penyelenggara. | Real-time update jumlah donasi dan donatur, lebih transparan. |
| Biaya Operasional | Bisa lebih tinggi (biaya cetak, transportasi, logistik acara). | Potongan platform (biasanya sekitar 5% dari dana terkumpul). |
Sanksi dan Risiko Penggalangan Dana Ilegal
Melakukan penggalangan dana tanpa izin atau menyalahgunakan dana yang terkumpul bukanlah pelanggaran ringan. Ada konsekuensi hukum dan sosial serius yang menanti. Mengabaikan perizinan dan legalitas penggalangan dana di Indonesia dapat merusak tidak hanya reputasi penyelenggara, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap gerakan filantropi secara keseluruhan. Niat yang baik bisa berakhir dengan masalah hukum yang pelik.
Menurut UU No. 9 Tahun 1961, sanksi bagi penyelenggara PUB tanpa izin bisa berupa hukuman pidana. Pasal 8 dalam UU tersebut menyatakan bahwa pelanggaran dapat diancam dengan hukuman kurungan paling lama tiga bulan atau denda setinggi-tingginya Rp10.000. Meskipun nilai denda tersebut sudah tidak relevan karena inflasi, ancaman pidana kurungannya masih berlaku. Lebih dari itu, aparat penegak hukum juga dapat menjerat pelaku dengan pasal-pasal lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti penipuan (Pasal 378) atau penggelapan (Pasal 372), yang ancaman hukumannya jauh lebih berat.
Risiko terbesar sebenarnya bukanlah sanksi denda yang kecil, melainkan kerusakan reputasi dan hilangnya kepercayaan publik. Sekali sebuah lembaga atau individu dicap melakukan penipuan berkedok donasi, akan sangat sulit untuk membangun kembali kepercayaan. Di era digital, berita negatif menyebar dengan cepat dan jejaknya sulit dihapus. Risiko lainnya termasuk pembekuan rekening oleh pihak bank atas laporan masyarakat atau pemerintah, serta penghentian paksa kegiatan oleh aparat yang berwenang. Ini adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar hanya karena mengabaikan prosedur legalitas.
Frequently Asked Questions (FAQ) Seputar Izin Penggalangan Dana
Q: Apakah semua jenis penggalangan dana harus memiliki izin dari Kemensos?
A: Tidak semua. Izin dari Kemensos hanya diwajibkan untuk penggalangan dana yang jangkauannya lintas provinsi (nasional). Jika hanya satu provinsi, izin cukup dari Gubernur. Jika hanya satu kabupaten/kota, izin cukup dari Bupati/Walikota. Penggalangan dana yang bersifat internal di lingkungan terbatas (misalnya, iuran kas kelas atau kolekte di rumah ibadah untuk kegiatan internal) umumnya tidak memerlukan izin PUB.
Q: Bagaimana dengan kotak amal di masjid atau gereja? Apakah perlu izin?
A: Pada umumnya, kotak amal permanen di rumah ibadah untuk kepentingan operasional internal (listrik, air, honor marbot/koster) dianggap sebagai sumbangan internal jamaah dan tidak memerlukan izin PUB. Namun, jika rumah ibadah tersebut secara aktif melakukan penggalangan dana yang ditujukan kepada masyarakat umum di luar jamaahnya (misal, memasang spanduk besar di jalan raya untuk renovasi total), maka kegiatan tersebut sudah masuk kategori PUB dan sebaiknya mengurus izin ke pemerintah daerah setempat.
Q: Berapa biaya yang dibutuhkan untuk mengurus izin PUB?
A: Secara resmi, tidak ada biaya atau pungutan yang dikenakan oleh pemerintah untuk penerbitan izin PUB. Proses ini gratis. Namun, Anda mungkin perlu mengeluarkan biaya administrasi pribadi seperti untuk fotokopi dokumen, pembelian materai, atau biaya transportasi untuk mengurus permohonan ke kantor dinas sosial terkait.
Q: Ketika terjadi bencana alam, prosesnya seringkali butuh cepat. Apakah penggalangan dana untuk korban bencana juga harus menunggu izin?
A: Ya, secara aturan tetap harus ada izin. Namun, pemerintah memahami urgensi situasi bencana. Biasanya, untuk kasus tanggap darurat bencana, proses penerbitan izin akan dipercepat dan dipermudah. Seringkali, Kemensos atau BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) akan membuka posko koordinasi di mana lembaga-lembaga sosial bisa mendaftar dan mendapatkan izin dengan lebih cepat untuk memastikan bantuan bisa segera disalurkan secara terkoordinasi dan akuntabel.
Q: Apa yang harus saya lakukan jika saya mencurigai adanya kegiatan penggalangan dana ilegal atau fiktif?
A: Jangan ragu untuk bertindak. Anda bisa meminta penyelenggara untuk menunjukkan surat izin PUB mereka. Jika mereka tidak bisa menunjukkannya atau berkelit, Anda bisa melaporkannya ke Dinas Sosial setempat atau langsung ke pos polisi terdekat. Untuk penggalangan dana online yang mencurigakan, Anda bisa menggunakan fitur "report" di platform tersebut atau melaporkannya ke patroli siber Polri.
Kesimpulan
Penggalangan dana adalah manifestasi indah dari semangat gotong royong dan kepedulian sosial. Namun, semangat ini harus dijaga dengan bingkai legalitas, transparansi, dan akuntabilitas. Memahami dan mematuhi aturan main seputar izin penggalangan dana di Indonesia bukanlah sebuah beban birokrasi, melainkan sebuah bentuk tanggung jawab moral dan hukum kepada para donatur yang telah menitipkan amanahnya dan kepada para penerima manfaat yang menggantungkan harapannya.
Dari dasar hukum yang telah berusia puluhan tahun hingga adaptasinya di era crowdfunding digital, benang merahnya tetap sama: setiap dana publik harus dapat dipertanggungjawabkan. Dengan mengikuti prosedur yang benar, mulai dari menyusun proposal yang solid, mengajukan izin ke otoritas yang tepat, hingga membuat laporan yang transparan, kita tidak hanya melindungi diri dari risiko hukum, tetapi juga turut membangun ekosistem filantropi yang sehat dan terpercaya di Indonesia. Pada akhirnya, pastikan niat baik Anda selalu berjalan di atas koridor hukum yang benar.
***
Ringkasan Artikel
Artikel berjudul "Izin Penggalangan Dana: Panduan Legalitas & Aturannya" ini adalah panduan lengkap mengenai aspek hukum penggalangan dana di Indonesia. Kunci utama pembahasan adalah pentingnya memahami perizinan dan legalitas penggalangan dana di Indonesia untuk menjaga amanah dan kepercayaan publik.
Dasar hukum utama kegiatan ini adalah UU No. 9 Tahun 1961 dan PP No. 29 Tahun 1980, dengan Kementerian Sosial sebagai regulator utama. Izin diklasifikasikan berdasarkan jangkauan (nasional, provinsi, kabupaten/kota) dan durasi (insidental di bawah 3 bulan, atau periode berkelanjutan).
Proses pengajuan izin melibatkan pembuatan proposal detail, pengajuan permohonan ke instansi berwenang (Kemensos/Pemda), verifikasi, hingga kewajiban pelaporan pasca-kegiatan. Persyaratan dokumen berbeda antara penyelenggara berbadan hukum (yayasan) dan perorangan/panitia, namun keduanya menekankan pada identitas dan akuntabilitas.
Di era digital, platform crowdfunding wajib memiliki izin "payung" dari Kemensos, yang melindungi kampanye-kampanye individu di dalamnya. Mengabaikan aturan ini dapat berujung pada sanksi pidana, denda, dan yang terparah, hilangnya kepercayaan publik. Artikel ini ditutup dengan sesi FAQ untuk menjawab pertanyaan praktis dan kesimpulan yang menekankan bahwa legalitas adalah fondasi dari kegiatan filantropi yang bertanggung jawab.





